"10+1 Alasan Untuk Tidak Kawin"
September 18, 2013
Dear Bloggies,
Beberapa hari yang lalu saya sempat membeli sebuah buku "Si Parasit Lajang" karangan Ayu Utami, yang notabene merupakan penulis wanita yang sudah memiliki track record yang bagus. Ada salah satu tulisan yang membuat saya tergelitik untuk memasangnya di blog saya. Pemikiran yang unik, benar-benar jujur. Berikut merupakan tulisan dari Ayu Utami
"10+1 ALASAN UNTUK TAK KAWIN
Inilah sebelas alasan kenapa tidak menikah adalah sikap politik saya:
1. Memangnya harus menikah?
2. Tidak merasa perlu.
3. Tidak peduli.
4. Amat peduli.
Jika di satu sisi saya mudah dianggap tak peduli pada nilai yang dipercaya ibu saya, di sisi lain saya sesungguhnya amat peduli. Awalnya sederhana saja. Sejak kecil saya melihat masyarakat mengagungkan pernikahan. Ironisnya, dongeng Cinderella, Putri Salju, Putri Tidur, Pretty Woman tamat pada upacara, tukar cincin, dentang lonceng, atau ciuman pada balkon. Artinya, tak ada dongeng tentang perkawinan itu sendiri.
Jika di satu sisi saya mudah dianggap tak peduli pada nilai yang dipercaya ibu saya, di sisi lain saya sesungguhnya amat peduli. Awalnya sederhana saja. Sejak kecil saya melihat masyarakat mengagungkan pernikahan. Ironisnya, dongeng Cinderella, Putri Salju, Putri Tidur, Pretty Woman tamat pada upacara, tukar cincin, dentang lonceng, atau ciuman pada balkon. Artinya, tak ada dongeng tentang perkawinan itu sendiri.
Sesungguhnya pada titik dongeng berhenti, seorang anak diperkenalkan pada yang realistis. Yang tidak diceritakan itu. Yaitu, bahwa pernikahan tidak ideal. Selain kasih sayang, juga ada kebosanan, penyelewengan, pemukulan. Tapi ini tabu dibicarakan. Sebaliknya, masyarakat mereproduksi terus nilai yang mengagungkan pernikahan. Mereka menempatkan jodoh sebagai titik takdir, sejajr dengan kelahiran dan kematian. Suatu proses yang wajib dilalui manusia. Seolah-olah alamiah, bahkan kodratiah.
Barangkali percintaan
memang amat romantis sehingga orang, misalnya saya dan pacar saya kalau
lagi jatuh cinta, suka berkhayal bahwa kami dipersatukan oleh malaikat
(tentu khayalan ini berakhir bersama selesainya hubungan). Perasaan
melambung itu mungkin yang membuat kita ogah mengakui bahwa lahir dan
mati adalah proses biologis, sementara menikah adalah konstruksi sosial
belaka.
Persoalannya, selalu ada yang tidak
beres dengan konstruksi sosial. Pada umumnya pernikahan masih
melanggengkan dominasi pria atas wanita. Kecuali di beberapa negara
liberal Eropa, hukum tidak selalu berpihak pada istri. Di Indonesia ini
terlihat pada setidaknya undang-undang perkawinan, perburuhan, maupun
imigrasi. Di masyarakat, begitu banyak pengaduan kasus kekerasan
domestik terhadap perempuan. Kita dengar dari media massa tentang
pemukulan atas pembantu rumah tangganya Imaniar hingga atas Ayu Azhari
oleh suaminya sendiri. Ketimpangan jender harus diakui.
Tapi
puncak dari pengesahan supremasi pria atas wanita ada dalam poligami.
Tema yang hampir-hampir tak pernah dikembangkan, bahkan dalam dongeng
1001 malam. (menurut saya topik ini digarap dengan amat muram dan
mencekam dalam Raise the Red Lantern oleh Shang Yi Mou.) Bahwa seorang
lelaki boleh memiliki banyak bini, tapi seorang istri tidak dibenarkan
memiliki banyak laki. Padahal, secara biologis, perempuanlah yang bisa
betul-betul yakin bahwa anak yang dikandungnya adalah anaknya sendiri.
Waktu
remaja tentulah saya merasa tidak nyaman membaca berita bahwa Rhoma
Irama kawin lagi dengan Rika Rachim, yang lebih muda dan segar daripada
Veronica, istri pertamanya yang kemudian minta cerai karena tak mau
dimadu. (Saya menyetujui perselingkuhan, sebab perselingkuhan istri
maupun suami sama-sama tidak disahkan hukum.)
Saya
anti-poligami. Tapi bukannya tidak bisa melihat rasionalisasi di balik
kawin ganda ini. Poligami adalah masuk akal di dalam masyarakat yang
amat patriarkal, yang berasumsi bahwa pria superior, bahwa pria
menyantuni perempuan dan tak mungkin sebaliknya, sehingga tanpa lelaki
seorang perempuan tak memiliki pelindung.
Para
pendukung poligami hanya adil untuk sementara, yaitu dalam konteks
masyarakat yang patriarkal. Dan bahwa kita punya pekerjaan besar untuk
mengubah sistem yang cenderung berpihak pada pria itu. Makanya, saya
kecewa ketika dalam periode Gus Dur, Menteri Pemberdayaan Perempuan
tidak menentang pencabutan PP 10 yang melarang pegawai negeri beristri
banyak. (Dalam hal ini saya lebih suka Soeharto daripada Hamzah Haz).
Lantas,
apa hubungan semua perkara besar itu dengan saya? Hubungannya adalah
bahwa saya peduli, yaitu jengkel, dengan idealisasi tadi. Barangkali
saya ingin mengatakan bahwa ada persoalan di balik pengagungan atas
pernikahan. Pernikahan tidak dengan sendirinya membuat hidup Anda
sempurna atau bahagia. Saya ingin mengingatkan, ada jalan alternatif.
Perempuan tak perlu menjadi istri kesekian atau kawin dengan lelaki
bertelapak tangan ringan hanya demi jadi Nyonya Fulan.
Catatan:
Jika perkawinan ibarat pasar, orang-orang yang memutuskan tidak menikah
sesungguhnya mengurangi pasokan istri seperti OPEC mengatur suplai
minyak. Juga memperingatkan para suami bahwa istri bisa tak bergantung
pada dia. Dengan demikian, mestinya harga istri menjadi lebih mahal
sehingga harus diperlakukan sebaik-baiknya. (Nah, saya peduli dan
berniat baik, kan?)
5. Trauma
Saya punya trauma. Bukan pada lelaki, sebagaimana yang dikira banyak orang, misalnya seorang ibu pendakwah di televisi. Melainkan pada sesama perempuan yang tidak sadar bahwa mereka tunduk dan melanggengkan nilai-nilai patriarki.
Saya punya dua bibi pemuja perkawinan. Salah satunya begitu mengagungkan persuntingan sehingga jika saya menikah, ia takkan menyapa saya dalam suratnya sebagai Ayu, melainkan sebagai Nyonya Anu. Tapi mereka sendiri tidak menikah. Bukan karena tak mau, melainkan karena tak dapat suami. Mereka juga pencemburu pada perempuan lain yang bukan sedarah dalam keluarga kami. Mereka cenderung menganggap anak laki-laki lebih berharga ketimbang anak perempuan. Syukurlah bahwa ayah-ibu saya memperlakukan sama putra-putrinya, sehingga saya tak punya dendam, sembari tetapmelihat ketidakadilan.
Saya punya trauma. Bukan pada lelaki, sebagaimana yang dikira banyak orang, misalnya seorang ibu pendakwah di televisi. Melainkan pada sesama perempuan yang tidak sadar bahwa mereka tunduk dan melanggengkan nilai-nilai patriarki.
Saya punya dua bibi pemuja perkawinan. Salah satunya begitu mengagungkan persuntingan sehingga jika saya menikah, ia takkan menyapa saya dalam suratnya sebagai Ayu, melainkan sebagai Nyonya Anu. Tapi mereka sendiri tidak menikah. Bukan karena tak mau, melainkan karena tak dapat suami. Mereka juga pencemburu pada perempuan lain yang bukan sedarah dalam keluarga kami. Mereka cenderung menganggap anak laki-laki lebih berharga ketimbang anak perempuan. Syukurlah bahwa ayah-ibu saya memperlakukan sama putra-putrinya, sehingga saya tak punya dendam, sembari tetapmelihat ketidakadilan.
Saya juga punya
guru-guru di SD dan SMP yang memenuhi segala stereotipe tentang perawan
tua, perempuan yang "tidak laku". Mereka tidak mendapatkan suami. Mereka
adalah guru-guru paling killer di sekolah. Mereka menghukum dengan
berlebihan. Mereka membenci murid-murid yang cantik. Setidaknya begitu
mudah berang pada yang berwajah ayu. Syukurlah, saya tidak ayu dan
cenderung tomboy, sehingga mereka baik pada saya. Dengan demikian, saya
punya simpati baik pada si guru maupun pada korbannya, teman saya yang
cantik. Sembari, tetap merasakan ketidakadilan.
Pada
masa kanak dan remaja, kesejajaran antara "perawan tua" dengan tabiat
pendengki tampak begitu nyata, sehidup kakak tiri Cinderella. Untuk
mengatakan bahwa hal-hal tersebut tidak saling berkaitan adalah naif.
Lagi pula, demikianlah stereotipe yang dilanggengkan masyarakat. Tapi,
untuk mempercayai bahwa perempuan yang tidak kawin niscaya mempunya
problem psikologi juga terlalu menyederhanakan persoalan.
Inilah
trauma saya: bahwa saya melihat sindrom perawan tua. Sejak remaja saya
merasa terganggu olehnya. Bertahun lalu saya menulis dalam diary,
"Barangkali saya tidak menikah kelak, tetapi saya tidak akan menjadi
pencemburu." Mungkin inilah jalan yang saya pilih: masuk ke dalam
trausma itu dan membalikkannya. Masuk ke dalam prasangka masyarakat dan
membuktikan kesalahannya.
Bibi saya, guru
saya, adalah orang yang terluka. Mereka dilukai oleh masyarakat yang
hanya menganggap sempurna wanita berkeluarga dan menganggap tak laku
perempuan lajang tua. Dan luka itu adalah milik setiap perempuan. Saya
ingin mengorak luka itu, luka saya juga, dan menunjukkan bahwa ini hanya
konstruksi sosial, sehingga kita tidak perlu menjadi sakit karenanya.
Tapi alasan ini kok terlalu heroik, ya? Nah, alasan berikutnya adalah ini:
6. Tidak berbakat.
Rasanya, saya tidak berbakat untuk segala yang formal dan institusional. Contohnya, sejak SMP saya tak pernah menjadi murid yang baik.
Rasanya, saya tidak berbakat untuk segala yang formal dan institusional. Contohnya, sejak SMP saya tak pernah menjadi murid yang baik.
7. Kepadatan penduduk.
Saya tidak inign menambah pertumbuhan penduduk dengan membelah diri.
Saya tidak inign menambah pertumbuhan penduduk dengan membelah diri.
8. Seks tidak identik dengan perkawinan.
Wah, pertama ini konsekuensi alasan ke-5 tadi: saya kan harus membuktikan bahwa perawan tua dan menikah tidak berhubungan. Kedua, siapa bilang orang menikah tidak berhubungan dengan bukan pasangannya?
Wah, pertama ini konsekuensi alasan ke-5 tadi: saya kan harus membuktikan bahwa perawan tua dan menikah tidak berhubungan. Kedua, siapa bilang orang menikah tidak berhubungan dengan bukan pasangannya?
9. Sudah telanjur asyik melajang.
10. Tidak mudah percaya.
Ibu saya selalu mengatakan bahwa menikah membuat kita tidak kesepian di hari tua. Tapi, siapa yang bisa jamin bahwa pasangan tak akan bosan dan anak tidak akan pergi? Tak ada yang abadi di dunia ini. Jadi sama saja.
Ibu saya selalu mengatakan bahwa menikah membuat kita tidak kesepian di hari tua. Tapi, siapa yang bisa jamin bahwa pasangan tak akan bosan dan anak tidak akan pergi? Tak ada yang abadi di dunia ini. Jadi sama saja.
+1Dan kenapa saya
menceritakan semua itu? Sebab selalu ditanya. Inilah anehnya kesadaran.
Ketika kita menjalani hidup, sebetulnya semua mengalir begitu saja. Tapi
ketika kita ditanya, kita seperti dipaksa untuk menyadari dan
merumuskan. Lantas, sesuatu yang semula terasa wajar menjelma sikap
politik."
0 comments